Akhirnya
bisa menulis lagi di blog ini, setelah lama laptop digunakan untuk membuat
laporan-laporan kantor yang menumpuk ditinggal pergi ke Jakarta. Kali ini Yusri
mau berbagi cerita perjalanan tugas kerja di daerah pedalaman Mimika 13-18
September kemarin (Mungkin bukan pedalaman juga sih, sebut saja daerah pesisir
pantai paling jauh di Mimika).
Bermula
dari niat agar seluruh masyarakat Mimika asli Papua yang berada jauh dipesisir
sana mendapatkan jaminan kesehatan gratis yang mampu memback up atau paling
tidak menutupi pembiayaan kesehatan yang tidak ditanggung oleh JKN (Jaminan
Kesehatan Nasional) yang lebih dikenal dengan sebutan “Kartu Papua Sehat”,
kartu ini diperuntukkan bagi semua Orang Papua Asli (OAP). Terlepas dari
berbagai macam kontroversi bagi saya pemberian KPS ini menjadi bentuk rasa
sayang pemerintah, bentuk rasa terima kasih untuk semua penduduk Papua pemilik
tanah surga kecil Jatuh ke Bumi ini
dalam bentuk jaminan kesehatan.
Lalu
niat itu sejalan dengan tim mobile Konseling Testing HIV untuk melakukan
pemeriksaan dan menemukan kasus HIV sedini mungkin sebagai bagian dari pelacakan
kasus HIV atau Case Finding agar masyarakat yang ditemukan positif HIV
dapat segera mendapatkan pengobatan dan hidup dapat lebih produkif. Program ini
sejalan dengan slogan Kementerian Kesehatan RI yakni TOP (Temukan, Obati dan
Pertahankan) sebagai upaya untuk menghentikan atau paling tidak mengendalikan
laju epidemi HIV beserta dampaknya. Meskipun penemuan kasus HIV di Kabupaten
Mimika hingga saat ini relatif stabil namun masih dibawah estimasi HIV di Tanah
Papua yaitu 2,3%. Oleh karena itu untuk membuktikan Mimika benar2 dibawah 2,3%
dan menyelamatkan masyarakat, maka seluruh masyarakat Mimika diupayakan
melakukan testing. Maka strategi kegiatan untuk mencapai target sebagai pintu
masuk adalah dengan penyediaan layanan konseling dan testing HIV dan IMS.
Layanan ini dilakukan dengan dua pendekatan : pertama tes HIV bagi semua pasien
yang berkunjung ke layanan kesehatan, kedua petugas berkunjung ke rumah-rumah penduduk/kelompok
sasaran yakni 5 suku kekerabatan (Dani, Moni, Mee/Ekari, Damal, Nduga) dan 2 suku asli Mimika (Amungme
dan Kamoro) dengan nama kegiatan “TOKI
PINTU” atau Ketuk Pintu dan inilah yang yusri dan teman-teman Komisi
Penanggulangan AIDS lakukan di daerah pesisir jauh sana.
Bukan
hanya itu tim inspection KUSTA juga merapat untuk menemukan sedini mungkin kasus
kusta pada masyarakat Mimika di pesisir jauh sana dengan harapan masyarakat
yang dibuat tak berdaya oleh KUSTA dapat segera mendapatkan pengobatan dan
pembelajaran bagaimana cara menanganinya.
Ketiga
tim ini dipersatukan dalam satu speed yang jika dilihat tidaklah cukup untuk
menampung kami yang berjumalh 24 orang. Namun dengan tekad dan niat yang mulia
bersempit-sempit adalah cara menikmati kebersamaan dalam perjalanan menembus
pagi dari daratan Mimika menuju hamparan laut yang pada hari itu begitu teduh
menuju Mimika Barat Jauh yakni Potowayburu, tidak peduli terik matahari
menyengat kulit yang menyambut kedatangan kami dengan bejibun perbekalan
makanan dan minuman yang diangkat di kiri dan kanan tangan kami sambil berjalan
menuju Puskesmas Potowayburu. Teringat
waktu itu tangan kiri saya mengangkat tas kamera dan tangan kanan saya
mengangkat plastik reagen yang lumayan berat dan saya yakin ketika kedua tangan
saya memikul beban, maka tangan tuhan masih memikul jodoh saya. Hihihi....
Sulitnya
air di pesisir jauh sana mengharuskan kami antri untuk mandi di sungai yang
begitu kecil namun menyajikan keindahan dan kesegaran alam yang masih begitu
natural. Setelah menikmati sejenak rezeki itu teman-teman mulai menelusuri
daratan Potowayburu dengan berjalan kaki mencari masyarakat yang akan diberikan
KPS, dan tim Mobile Konseling Testing HIV dan tim Inspection KUSTA melakukan
penyuluhan dan testing di SMP Negeri Potowayburu. Adik-adik SMP Negeri
Potowayburu begitu antusias mengikuti penyuluhan dan pemeriksaan HIV serta
KUSTA, senyum bahagiapun terpancar di wajah guru-guru mereka yang berselimut
pengabdian luar biasa untuk mencerdaskan anak-anak Papua di pesisir jauh sana.
Lelah
berjalan kaki yang sesekali dapat bantuan angkutan bentor dari petugas yang
juga mengabdi di pesisir sana, bentor yang selalu mengalami over bagasi karena
dipaksakan mengangkut kami semua. Yahh begitulah karena itu merupakan alat
transportasi satu-satunya dan menjadi cerita tersendiri untuk kami.
Bertugas
di pedalaman juga tidak terlepas dari teror makhluk tuhan yang lain, dari kisah
hantu yang diceritakan oleh Bu Bidan yang mengabdi disana hingga munculnya ular
secara tiba-tiba di halaman Puskesmas dari yang berukuran kecil hingga besar.
Pada akhirnya kami menyaksikan bagaimana pemburuan ular tersebut yang
memunculkan berbagai kata dari teman-teman IIIhhhhh dee’e, Bahayanya,
Astagfirullah, Ya Tuhannn, Takutku dee’ee, Iiiiiiiiihhhh..
Setelah
berbagai cerita terukir di daratan Potowayburu kami kemudian bergegas menuju
perjalanan selanjutnya, namun karena perbekalan dan barang-barang kami yang
banyak kami diangkut oleh truk bantuan dari Dinas Perhubungan, karena muatan
yang banyak jadinya tidak bisa membedakan yang mana barang yang mana orang..
hahahah kasian yahhh
Yaps perjalanan
menuju Yapakopa, karena tim harus dibagi dua maka tim yang satunya turun di
daratan Yapakopa dengan perjanjian tim yang telah menyelesaikan tugasnya di Yapakopa
harus berjalan kaki menuju Aindua tempat tim yang satunya bertugas dengan
speed, awalnya kami dengan semangat mengatakan “Oke” sebab teman-teman mantri
yang berada di Yapakopa mengatakan dengan jelas Yapakopa ke Aindua dekat saja.
Dengan santainya ditambah antusias masyarakat yang ikut testing HIV dan Kusta
serta semangat mereka untuk antri memperoleh KPS membuat kami begitu menikmati
tugas hari itu tanpa sadar hari sudah mulai gelap. Setelah semua selesai,
beberapa foto telah di shoot akhirnya kami berjalan kaki di pantai menuju
Aindua sambil menikmati sunset. Sesekali ada masyarakat yang juga melintas
sembari menyapa kami semua yang sedang berjalan dengan penuh semangat, namun
sejam berjalan akhirnya kami mulai lelah dan mulai menggerutu pegal-pegal,
jalan yang katanya dekat ternyata jauhhhhhh sekali. Untung saja langit Yapakopa
begitu indah menaungi kami semua, jadi sedikit terobati lelah berjalan kaki 2
jam lebih.
Setelah
melepas lelah dan mengistirahatkan tubuh di Aindua, paginya kami akhirnya berpisah
dengan tim inspection KUSTA yang tugasnya sudah selesai dan kami melanjutkan
perjalanan menuju Pronggo dengan speed yang diiringi musik keroncongan yang
membentuk simfoni kelaparan... Hahahah karena matahari sudah mulai terik
akhirnya speed bersandar di Pantai Pronggo untuk mengobati lambung yang sedari
tadi berseru meminta diberi makan, yah atribut kami pun dibawah turun dari
Kompor, Wajan, Mie Instan dan Air minum yang kemudian kami nikmati sambil bertikarkan pasir dan beratapkan langit.
Aduhhh Mie Instan rasa Soto terasa Coto jadinya. Hahahaha.... dan yaps kami pun
bertugas kembali.
Selepas
bertugas di Pronggo, kami pun melanjutkan perjalanan menuju daratan Mapar, yang
sungguh menyajikan pemandangan yang begitu indah, dari rumah yang seragam, lingkungan
yang bersih, masyarakat yang ramah dan keunikan bentuk tempat ibadah dan rumah
dinas guru dan petugas kesehatan. Dengan keindahan itu kami nikmati sambil
bertugas, Namun daratan Mapar kau mengukir banyak cerita dari ketika para
ibu-ibu menikmati mandi di sungai dan dikagetkan oleh Daun yang dipikir Buaya
oleh Ibu Hasma yang mengakibatkan para Ibu-ibu lari terbirit-birit, rasa dan
ekspresi sedih Om Lin yang tidak kebagian ikan bakar padahal sudah lapar tidak
ketulungan, begadang hingga larut malam bersama Rika dan Ibu Sonya hanya karena
Permainan Tebak Gambar, Kepedean berangkat pagi hingga terlanjur memberikan
perbekalan kepada tuan rumah padahal jalannya siang hingga muncul ide/solusi
dari (Ibu Merry : Beli saja kembali mienya) (Pak Kris : kita datang ambil
mienya kembali baru bilang miss komunikasi bu) dan akhirnya kami memakan kelapa
muda yang dibeli di masyarakat, dan ternyata menunggu speed berjam-jam di Mapar
diakibatkan miss komunikasi antara motoris dan air laut serta antara Aco dan kesalahan
memprediksi air pasang surut.
Setelah
rasa bahagia yang sungguh mengharukan bisa naik di speed lagi, kami pun
melanjutkan misi tugas berikutnya yakni di daratan Mupuruka, karena tidak sabar
bertemu masyarakat dan membagi KPS kami pun berjalan saja dan melupakan sejenak
lambung yang sudah berorasi sejak tadi, sehingga pada hari itu kita
menyelesaikan 2 tugas, tugas pertama membagi KPS, tugas kedua menahan lapar dan
haus. Atas kesuksesan 2 misi itu bersama speed boat kami menuju Uta, sungguh
untuk pertama kalinya kami bisa melihat air jernih dan berlimpah selama
beberapa hari, namun ketika rezeki itu mau dinikmati justru kami harus segera
bergegas menuju daratan Amar sebelum langit mulai gelap. Alhasil kamipun mandi
terburu-buru.
Karena
speed boat berjalan di malam hari menuju Amar, kami mendapatkan sambutan hantaman
ombak yang mendebarkan jantung pada waktu itu di muara Amar, namun atas
panjatan doa dari temana-teman dan dari keahlian Motoris akhirnya kami bisa
mendarat di Amar. Sungguh takjubnya kami melihat tangki air (Profil air) yang
raksasa, namun setelah memasuki “ruangan segala hajat terbuang” ternyata kami
harus merasakan krisisnya air bersih dan profil diluar hanya mengobati mata
saja. Tugas di Amar kami selesaikan
secepat mungkin, sehingga paginya speed boat berlanjut ke daratan terakhir
yakni Ipiri Paripi Yaraya, disinilah diakhir tugas di daratan ini terjadi
perdebatan Manja akibat keterlambatan rekan lain untuk menyelesaikan tugasnya,
hingga ibu Sonya ganas, Ibu Evi protes, Ibu Jen juga ikutan bingung karena
keterlambatan itu, Ibu Merry mala sibuk mencoba segala ukuran baju pelampung
yang membuat kami semua tertawa terbahak-bahak, aduhhh ibu Merry terima kasih
sudah menghibur disaat-saat seperti itu. Semua ini terjadi karena tak sabar
bertemu keluarga tercinta di Timika yang selama 6 hari putus komunikasi akibat
sinyal yang tak terjangkau.
Ada hal yang bisa kita pelajari selama perjalanan ini bahwa Kesehatan dan
Pendidikan memang sangat dibutuhkan oleh suku anak dalam, bahwa rasa
kekeluargaan dan gotong royong itu nyata masih ada, bahwa meskipun hanya sapaan
“pagi Mama, Pagi Bapa” hati begitu damai, bahwa masyarakat pesisir masih lebih
bersih dan nyata rekan bumi yang menjaga lingkungan ketimbang kita yang di kota
yang katanya update pendidikan dan teknologi, bahwa masyarakat pesisir masih
lebih menghargai makanan dan minuman ketimbang orang kota yang cenderung
menyia-nyiakan makanan dan minuman yang dimilikinya, bahwa masyarakat pesisir
sana memiliki banyak cerita yang menginspirasi dan patut menjadi bekal
pelajaran hidup kedepan.
Dan
pada akhirnya dari lubuk hati paling dalam, dibawah restu langit siang dan
malam, dan atas dukungan bumi dengan segala nikmat yang telah tersaji, atas
respon hamparan laut yang bersahabat dengan muara, bersama kumpulan doa
masyarakat dan keluarga atas segala misi yang sudah dijalankan itu kami tulus,
jujur dan penuh pengorbanan serta
pengabdian tanpa pamrih untuk membantu masyarakat Mimika yang tak berdaya jauh
disana demi masa depan kesehatan Kabupaten Mimika. Terima Kasih Tim hebat Ibu
Hasma, Ibu Nova, Ibu Sonya, Pak Valen, Pak Oleng, saya sendiri, Ibu Farida, Ibu
Siska, Ibu Evi, Ibu Merry, Ibu Jane, Ibu Ida, Kak Dewi, Rika, Edi, Om Lin, Om
Blandi, Kak Aris, Pak Usman, Pak Kris, Mas Yono, Om Rustam dan Aco.
Salam
Masa Depan Kesehatan Mimika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar