“Sebelumnya ku ucapkan selamat tahun baru 1
Muharram 1438 Hijriah, semoga kebaikan senantiasa bersama kita ditahun baru
ini, dengan semangat ibadah yang istiqamah, dengan rezeki yang berlimpah yang
wanginya beraroma barokah”.
Yuhuuu,
bertepatan dengan Tahun Baru Hijriah seorang sahabat meminta untuk menjadikanku
editor untuk tulisannya. Yaps..Alhamdulillah bisa memndapatkan kesempatan itu,
apalagi ini kisah nyata dan namaku kayaknya ada dalam kisah ini juga
deh.ckkckcckkcck
Ceritanya
keren Chyka, Yaps this is about You, about Your True Story and make me
compassion. So.. Mari membaca guys.
(Tika, Upi, Yusri, Dian, Ipha, Misli, Chyika)
(Written By Chyika)
Bermulai
dari cita-citaku melanjutkan pendidikan dari remaja SMA menuju pendidikan di
bangku kuliah, dan ku pilih Kota Parepare sebagai saksi terwujudnya cita-cita
itu sebuah kota kecil namun padat penduduk tempat kelahiran Bapak BJ. Habibie
dan tempat berdirinya tugu “Cinta Sejati Habibie Ainun”. Sebagai kota pilihan
jejak kaki seorang wanita kampung dimulai hingga akhirnya diterima di Universitas
Muhammadiyah Parepare.
Hari
pertama berstatus Mahasiswi di kampus Universitas Muhammadiyah Parepare, dengan
kesendirian tanpa satu orang pun yang ku kenali, wajah-wajah baru setiap detik ku temui dan
hampir disetiap waktuku di kampus ini menyambangi beberapa orang, namaku berada
di urutan 011 dari salah satu fakultas dikampus ini, di urutan 012 kujumpai
teman berkulit hitam hidung mancung mengulurkan tangan dan berkata “kenalkan
beta Rosdiana Selano, disapa Dian beta dari Ambon”, begitu ujarnya. Kemudian aku
memperkenalkan diriku, “Aku Riskayanti, teman biasanya mamanggilku chyka, nomor
hp kamu berapa?” tanyaku kepada beta wanita si kulit hitam dan berhidung
mancung itu dan kamipun saling bertukar nomor handphone. hari itu juga aku dan “Dian
Ambon” sapaku kepadanya mulai saling mengenal dan memulai keakraban, apalagi
kami dipersatukan dengan kelas yang sama disemester awal perkuliahan kami.
Hari
demi hari kulalui sebagimana mahasiswa baru pada umumnya, aku yang pada awalnya
masih merasa asing dikampus itu menjadi tenang dan bahagia karena Dian, rupanya perbedaan bukanlah penghalang
untukku dan dian menjalin pertemanan, bersamanya ku dapatkan pengalaman baru dia
mengajariku banyak hal, dia begitu telaten dalam urusan rumah mungkin karena
perbedaan usia diantara kami yang terpaut 2 tahun lebih tua dariku. Sewaktu
ketika dengan lincahnya dia menemaniku melengkapi keperluan dikosan baruku, mengajariku
menggunakan alat-alat yang sebelumnya tak pernah ku pakai hingga ku bisa
menggunakannya sendiri, makan bersama dengannya, canda tawanya membawaku lupa
akan lelah, tutur katanya yang khas orang Ambon dan aku yang masih berlogat
anak bugis menjadi komunikasi yang unik dan campur aduk, tapi keunikan ini yang
menjadi penyatu persahabatan diantara kita, teringat ketika dia bertutur yang
lucu membuatku selalu terbahak sesekali disertai tingkahnya yang lucu pula di
hadapanku, dalam hatiku terbesit “Ya Tuhan wanita ini sangat unik, kulitnya yang
gelap, hidungnya yang mancung, tutur katanya yang selalu membuatku tersenyum.
Terima kasih sudah membawanya bersahabat denganku”.
Tak
terasa beberapa bulan persahabatanku dengan Dian, kami mulai memiliki
sahabat-sahabat baru yang tidak kala menyenangkan, sebut saja Yusri salah satu
mahasiswi yang berprestasi, juga Ipha si gadis baik bermata sipit yang geraknya
seperti siput lelet minta ampun, juga Misli, Tika dan Sulfiana. Tapi diantara
semua sahabatku, tiada yang lebih unik, tiada yang lebih polos, tiada yang
lebih bersifat keibuan, tiada yang kerap membawa sensasi dan kekonyolan serta
lelucon yang mengubah lelah menjadi tawa selain Dian si Wanita Ambon. Sungguh
bangga mengenalnya.
Tepat
2 tahun lamanya 4 semester berlalu, tiba saatnya pembagian konsentrasi untuk
mahasiswa fakultas kesehatan seangkatanku kala waktu itu, dilema, bingung,
bimbang kutemukan dalam diriku ketika itu, dimana harus menentukan pilihan untuk
diriku dan masa depanku nantinya, pemilihan konsentrasi bukanlah hal yang mudah
bagiku, mungkin diantara teman-teman hal ini biasa-biasa saja tapi bagiku ini
memberatkan hatiku dimana harus menentukan pilihan, harus berhadapan lagi
dengan teman-teman baru yang dulunya sudah begitu akrab dan bersahabat bersama
sehari-hari dalam kelas sebelumnya selama 4 semester 2 tahun lamanya, rasanya
tak sanggup harus menyesuaikan diri lagi dengan teman kelas baru, tapi apalah
daya keadaan dan aturan dari kampus haruslah dipatuhi. Hari itu kudapati papan
pengumuman di depan fakultasku, rupanya Ipha dan Dian memilih konsentrasi yang sama denganku,
alhamdulillah..meski sedikit sedih harus terpisah dengan sahabat-sahabat
hebatku Yusri, Tika, Misly dan
Upi tapi syukurlah tawa serta suara keras khas Wanita Ambon serta Ipha masih menemaniku
kembali di kelas baru. Seperti itulah potretnya terkadang ada yang pergi ada
juga yang masih bertahan dan tinggal bersama kita tapi pergi bukan berarti tak
lagi bisa bersama, beda kelas untuk belajar bukanlah penghalang, sesekali masih
bisa menyempatkan waktu berkomunikasi di sela padatnya jadwal kuliah dikampus, bercanda
tawa di ruang tunggu di depan fakultas, pembahasan tak ada habisnya, tawa
berbinar disetiap waktu meskipun berlimpah tugas-tugas dan makalah yang harus
diselesaikan setiap waktu.
Sungguh
nikmat kebersamaan dimasa-masa kuliah waktu 8 semester sampai mendapatkan gelar
S1 serasa bagaikan mimpi buah hasil dari kerja keras, kebersamaan
dan semangat dari teman-teman seangkatan yang dulunya belajar saling
mengenal saling memahami hingga kebersamaan itu tak terasa 4 tahun sudah dilalui
waktu terasa begitu singkatnya jika dipikir-pikir barulah hari kemarin, saat
ini toga S1 sudah di atas kepala, rasa haru bahagia tercurahkan dan nampak diwajah
sahabat-sahabatku. Tapi dibalik kebahagiaan itu ada rasa yang mengusik rasa tak
sanggup tuk berpisah yang sebenarnya mencegkram begitu dalam dari lubuk hatiku
serasa tidak ingin mengakhiri masa-masa ini, sesekali terbesit tanya di benakku
“mungkinkah akan dipertemukan kembali jika suatu ketika aku harus kembali ke
kampung halamanku mengabdi dan menerapkan apa yang telah aku dapatkan dari
kampus ini, begitu pula dengan sahbaat-sahabatku.
Kekhawatiranku,
kesedihanku dihari kemarin, tanyaku dalam hatiku akankah kutemukan lagi kebersamaan
itu? Terjawab sudah. Beberapa bulan setelah perkuliahan usai, aku kembali ke
kampung halamanku di desa dimana aku dilahirkan di salah satu rumah sakit umum
disana, begitu juga dengan sahabat-sahabatku satu persatu pergi meninggalkan
tempat dimana kami dipertemukan baik itu untuk cita-cita, cerita cinta ataupun
kemajuan diri. Dian kala itu kembali ke Ambon, Upi kembali ke Tarakan Kalimantan
Timur mengikuti orang tuanya, Ipha
yang balik ke kampungnya Pinrang serta Yusri yang mengabdi di ujung Timur Indonesia
di tanah Papua.
Ooohh....Tuhan
jarak telah memisahkan kami semua,
demi sebuah cita-cita, cerita cinta dan demi kemajuan diri kami menciptakan
sebuah rasa yakni “Rindu”. Rasa
yang selalu menciptakan nostalgia bersama yang akhirnya tercurah hanya di media
sosial melalui gadget,
meski hanya di dunia maya tapi rasanya persahabatan kami tetap nyata. Namun tidak dengan sahabatku yang satu ini
Dian, semenjak kepulangannya ke
Ambon dia tak pernah lagi
memberi kabar, tak pernah lagi ada postingan di media sosialnya, tak pernah
lagi terdengar canda dan tawanya. Rasanya telah banyak cerita yang kulalui dari
kisahku mengabdi di Rumah Sakit, cerita cintaku yang penuh suka dan duka,
kepindahanku dari Sulawesi Selatan ke Sulawesi Barat demi mencari ceceran
rezeki kehidupan di kampung
orang, semua itu kubungkus dan kusimpan ingin ku beritahukan padamu. Namun
hingga saat ini tak kutemukan kabar
darimu, sahabatku dimana senyum dan candaanmu, lelucon dan tingkah konyolmu
menawarkan sejuta tumpukan kerinduan.
Ku kirimkan
pesan di akun facebookmu sama sekali tak ada respon darimu. Masihkah Ose mengingat sahabat-sahabatmu ini, orang-orang dekatmu, teman
seperjuanganmu. Sesekali termenung dan terlintas di pikiranku kenangan-kenangan tempo yang pernah kita
lalui bersama dari mengkombinasikan masakan Ambon dengan masakan Bugis di
dapur sampai nantinya kita semua menyantapnya bersama hingga segala tingkah konyolmu yang
menciptakan tawa. Sungguh aku rindu akan hal-hal itu sahabatku, dimana dirimu sebenanrnya, adakah kau
bersembunyi di balik masalah, atau ditenggelamkan oleh arus kehidupan yang
menghapus kenangan kita. Sepertinya kerinduan memuncak untukmu dari dalam
diriku dan rasanya begitu
menusuk, bukan hanya diriku tapi
sahabatmu yang lain juga merindukanmu.
Setahun
tanpa kabar darimu, aku mencoba menapaki Kota Parepare dengan tujuan untuk mencari tahu
keberadaanmu. Namun pencarianku
tak berbuah manis, Tak
kutemui siapa-siapa, tak kudapati keluargamu ditempat
biasa dimana kita duduk dan berbincang, bercanda tawa bersama dan makan bersama. Mess yang dulunya ramai akan keluargamu yang juga dari Ambon sekarang
sepi bahkan terlihat tak berpenghuni, hatiku dipenuhi tanda tanya, pintu mess
yang dulunya selalu terbuka lebar dan terparkir beberapa motor orang-orang
bekerja sekarang sudah tidak lagi. Satu persatu pertanyaan berdatangan didalam
diriku, namun apalah
dayaku pertanyaan sekedar pertanyaan saja tak ku jumpai jawaban pasti dari rasa
penasaranku. Canggihnya tekhnologi ternyata tidak mampu menjadi media untuk menemukanmu. Aku pun
menyerah dan kembali ke Sulawesi Barat.
Bulan-bulan
berikutnya rasanya rinduku semakin menggebu, aku memutuskan untuk menghampiri
Kota Parepare lagi dengan harapan bisa mendapatkan informasi tentangmu, dan
akhirnya aku bertemu dengan salah satu orang terdekatmu Ruhul, darinya satu
persatu pertanyaanku tentangmu kulayangkan, senyum
paksa tak seperti biasanya terpancar dari wajahnya rupanya engkau “Dian sahabatku”
telah menikah sejak beberapa bulan ketika tibanya di Ambon dan telah dikaruniai seorang bayi laki-laki, Alhamdulillah
bahagia bercampur haru dariku malam itu,
meskipun tak bertatap muka tak ada komunikasi darimu, tapi kabar bahagia
tentangmu setidaknya membuatku lega dan rasa penasaranku terjawab sudah.
Malam
hening dengan bisikan gemuruh angin di tepi kota Polewali Sulawesi Barat
membawaku dalam lamunan malam itu, entah kenapa ingatanku terbawa kepada sosok
sahabatku yang begitu konyol dan tanpa aku sadari sesekali aku tersenyum
sendiri mengingat segala tingkah lakunya pada jaman kuliah dulu, sangat jauh
berbeda dengan suasana kerja yang kesehariannya hanya fokus di depan monitor
yang membawa otak pening dengan laporan-laporan kantor. Masih dengan
angan-angan memikirkan kebersamaan kita dibangku kuliah tanpa kusadari handphoneku
berdering, ku tatap nomor telepon yang masuk rupanya dari Ipha. “oh....Tuhan,
rindu akan kebersamaan ternyata dirasakan juga olehnya Ipha”, ku angkat dan ku jawab
dengan penuh rasa bahagia, tapi justru suara sendu yang terdengar, seperti ada
seuatu yang sangat menyedihkan yang akan ia sampaikan padaku.
“Assalamu
alaikum, Ucapnya”,
“Walaikum
salam”. Kenapa beb, rindu yah? (jawabku dengan senang namun penuh dengan rasa
penasaran)
“Beb, jangan
sedih teleponku kali ini bukan untuk mengajakmu bercerita dan bercanda”, (jawab
Ipha dengan suara terisak-isak)
“Ada apa beb
?? (Jawabku dengan segala pikiran yang tidak baik)
“Dian beb, Dian
kacong sahabat kita”. (Dengan Isak Tangis yang begitu jelas)
“Dian kenapa
ipha, kenapa?” (Tanyaku yang semakin penasaran)
“Dian telah
berpulang menghadap-Nya, ia meninggal beberapa menit yang lalu dan informasi
ini ku dapat dari Ruhul di Ambon”. (Tangisnya makin menjadi-jadi).
Tangisku
meluap, Innalillahi wainna Ilaihirojiun, begitu cepat engkau pergi meninggalkan
kami sahabatku, rinduku kau balas dengan kabar duka. Betahun-tahun tanpa
kabarmu, bertahun-tahun merindukanmu, bertahun-tahun mengenang kebersamaan
kita, rasanya begitu sakit dan tak terima dengan kenyataan bahwa harus
kehilangan dirimu untuk selamanya. Sungguh rasanya sangat berat harus menerima
kenyataan itu.
Selamat
jalan sahabatku, damailah dialamNya, semoga tenang di surga sana. Terima kasih
untuk hadiah terakhir yang kau berikan melalui rangkaian kenangan yang telah
kau hadirkan dalam kehidupanku. Aku, Yusri, Ipha, Misli, Tika dan Upi akan
selalu mengingat semua tentang kita. Lembaran-lembaran kisah persahabatan yang
tidak akan pernah berujung ini akan terus tersimpan dalam hidupku.
“Guys, kisah
yang dituliskan oleh sahabatku ini membuatku mengenang kembali sahabatku yang
bahkan seperti keluargaku. Sungguh sedih rasanya, jika di akhirat sana dia bisa
melihat kami, kan ku ucapkan rasa terima kasih atas potongan cerita yang dia ukir, atas hangat
persahabatan yang dia beri. dan atas Mahabbah Fillah ku lantunkan doa dan
harapan semoga sahabat-sahabatku yang sekarang dipisahkan oleh Jarak dan Waktu
semoga selalu dalam lindungan Allah Azza Wajalla. Jadilah sahabat yang tulus
seperti jalinan persahabatan para Nabi.
“Sahabatku, satu hal yang pasti sejauh apapun
kalian semua pergi, kalian tetap harta terbaik yang selalu dihati dan tetap
kunanti hingga pulang kembali”. Miss U Forever
sedih sekali yah ������
BalasHapusyg sabar untuk sahabatyg ditinggalkan
Hanya ini hadiah terakhirku beb kacong
BalasHapusAlfatihah
Thanks jenk yuss sudah menerbitkan coretanku
Semoga Amal ibadahnya diterima Amin. Dan d berikan kesabaran semua sahat2 yg ditinggalkan. AMIN. Al-fatimah.
BalasHapus