Translate

2 Okt 2016

Hadiah terakhir dari sahabatku (This is about me, about my story, about my study and anything with my bestfriends)



“Sebelumnya ku ucapkan selamat tahun baru 1 Muharram 1438 Hijriah, semoga kebaikan senantiasa bersama kita ditahun baru ini, dengan semangat ibadah yang istiqamah, dengan rezeki yang berlimpah yang wanginya beraroma barokah”.

Yuhuuu, bertepatan dengan Tahun Baru Hijriah seorang sahabat meminta untuk menjadikanku editor untuk tulisannya. Yaps..Alhamdulillah bisa memndapatkan kesempatan itu, apalagi ini kisah nyata dan namaku kayaknya ada dalam kisah ini juga deh.ckkckcckkcck
Ceritanya keren Chyka, Yaps this is about You, about Your True Story and make me compassion. So.. Mari membaca guys.

 (Tika, Upi, Yusri, Dian, Ipha, Misli, Chyika)

(Written By Chyika)
Bermulai dari cita-citaku melanjutkan pendidikan dari remaja SMA menuju pendidikan di bangku kuliah, dan ku pilih Kota Parepare sebagai saksi terwujudnya cita-cita itu sebuah kota kecil namun padat penduduk tempat kelahiran Bapak BJ. Habibie dan tempat berdirinya tugu “Cinta Sejati Habibie Ainun”. Sebagai kota pilihan jejak kaki seorang wanita kampung dimulai hingga akhirnya diterima di Universitas Muhammadiyah Parepare.

Hari pertama berstatus Mahasiswi di kampus Universitas Muhammadiyah Parepare, dengan kesendirian tanpa satu orang pun yang ku kenali,   wajah-wajah baru setiap detik ku temui dan hampir disetiap waktuku di kampus ini menyambangi beberapa orang, namaku berada di urutan 011 dari salah satu fakultas dikampus ini, di urutan 012 kujumpai teman berkulit hitam hidung mancung mengulurkan tangan dan berkata “kenalkan beta Rosdiana Selano, disapa Dian beta dari Ambon”, begitu ujarnya. Kemudian aku memperkenalkan diriku, “Aku Riskayanti, teman biasanya mamanggilku chyka, nomor hp kamu berapa?” tanyaku kepada beta wanita si kulit hitam dan berhidung mancung itu dan kamipun saling bertukar nomor handphone. hari itu juga aku dan “Dian Ambon” sapaku kepadanya mulai saling mengenal dan memulai keakraban, apalagi kami dipersatukan dengan kelas yang sama disemester awal perkuliahan kami.
Hari demi hari kulalui sebagimana mahasiswa baru pada umumnya, aku yang pada awalnya masih merasa asing dikampus itu menjadi tenang dan bahagia karena  Dian, rupanya perbedaan bukanlah penghalang untukku dan dian menjalin pertemanan, bersamanya ku dapatkan pengalaman baru dia mengajariku banyak hal, dia begitu telaten dalam urusan rumah mungkin karena perbedaan usia diantara kami yang terpaut 2 tahun lebih tua dariku. Sewaktu ketika dengan lincahnya dia menemaniku melengkapi keperluan dikosan baruku, mengajariku menggunakan alat-alat yang sebelumnya tak pernah ku pakai hingga ku bisa menggunakannya sendiri, makan bersama dengannya, canda tawanya membawaku lupa akan lelah, tutur katanya yang khas orang Ambon dan aku yang masih berlogat anak bugis menjadi komunikasi yang unik dan campur aduk, tapi keunikan ini yang menjadi penyatu persahabatan diantara kita, teringat ketika dia bertutur yang lucu membuatku selalu terbahak sesekali disertai tingkahnya yang lucu pula di hadapanku, dalam hatiku terbesit “Ya Tuhan wanita ini sangat unik, kulitnya yang gelap, hidungnya yang mancung, tutur katanya yang selalu membuatku tersenyum. Terima kasih sudah membawanya bersahabat denganku”.
Tak terasa beberapa bulan persahabatanku dengan Dian, kami mulai memiliki sahabat-sahabat baru yang tidak kala menyenangkan, sebut saja Yusri salah satu mahasiswi yang berprestasi, juga Ipha si gadis baik bermata sipit yang geraknya seperti siput lelet minta ampun, juga Misli, Tika dan Sulfiana. Tapi diantara semua sahabatku, tiada yang lebih unik, tiada yang lebih polos, tiada yang lebih bersifat keibuan, tiada yang kerap membawa sensasi dan kekonyolan serta lelucon yang mengubah lelah menjadi tawa selain Dian si Wanita Ambon. Sungguh bangga mengenalnya.
Tepat 2 tahun lamanya 4 semester berlalu, tiba saatnya pembagian konsentrasi untuk mahasiswa fakultas kesehatan seangkatanku kala waktu itu, dilema, bingung, bimbang kutemukan dalam diriku ketika itu, dimana harus menentukan pilihan untuk diriku dan masa depanku nantinya, pemilihan konsentrasi bukanlah hal yang mudah bagiku, mungkin diantara teman-teman hal ini biasa-biasa saja tapi bagiku ini memberatkan hatiku dimana harus menentukan pilihan, harus berhadapan lagi dengan teman-teman baru yang dulunya sudah begitu akrab dan bersahabat bersama sehari-hari dalam kelas sebelumnya selama 4 semester 2 tahun lamanya, rasanya tak sanggup harus menyesuaikan diri lagi dengan teman kelas baru, tapi apalah daya keadaan dan aturan dari kampus haruslah dipatuhi. Hari itu kudapati papan pengumuman di depan fakultasku, rupanya Ipha dan Dian  memilih konsentrasi yang sama denganku, alhamdulillah..meski sedikit sedih harus terpisah dengan sahabat-sahabat hebatku Yusri, Tika, Misly dan Upi tapi syukurlah tawa serta suara keras khas Wanita Ambon serta Ipha masih menemaniku kembali di kelas baru. Seperti itulah potretnya terkadang ada yang pergi ada juga yang masih bertahan dan tinggal bersama kita tapi pergi bukan berarti tak lagi bisa bersama, beda kelas untuk belajar bukanlah penghalang, sesekali masih bisa menyempatkan waktu berkomunikasi di sela padatnya jadwal kuliah dikampus, bercanda tawa di ruang tunggu di depan fakultas, pembahasan tak ada habisnya, tawa berbinar disetiap waktu meskipun berlimpah tugas-tugas dan makalah yang harus diselesaikan setiap waktu.
Sungguh nikmat kebersamaan dimasa-masa kuliah waktu 8 semester sampai mendapatkan gelar S1 serasa bagaikan mimpi buah hasil dari kerja keras, kebersamaan dan semangat dari teman-teman seangkatan yang dulunya belajar saling mengenal saling memahami hingga kebersamaan itu tak terasa 4 tahun sudah dilalui waktu terasa begitu singkatnya jika dipikir-pikir barulah hari kemarin, saat ini toga S1 sudah di atas kepala, rasa haru bahagia tercurahkan dan nampak diwajah sahabat-sahabatku. Tapi dibalik kebahagiaan itu ada rasa yang mengusik rasa tak sanggup tuk berpisah yang sebenarnya mencegkram begitu dalam dari lubuk hatiku serasa tidak ingin mengakhiri masa-masa ini, sesekali terbesit tanya di benakku “mungkinkah akan dipertemukan kembali jika suatu ketika aku harus kembali ke kampung halamanku mengabdi dan menerapkan apa yang telah aku dapatkan dari kampus ini, begitu pula dengan sahbaat-sahabatku.
Kekhawatiranku, kesedihanku dihari kemarin, tanyaku dalam hatiku akankah kutemukan lagi kebersamaan itu? Terjawab sudah. Beberapa bulan setelah perkuliahan usai, aku kembali ke kampung halamanku di desa dimana aku dilahirkan di salah satu rumah sakit umum disana, begitu juga dengan sahabat-sahabatku satu persatu pergi meninggalkan tempat dimana kami dipertemukan baik itu untuk cita-cita, cerita cinta ataupun kemajuan diri. Dian kala itu kembali ke Ambon, Upi kembali ke Tarakan Kalimantan Timur mengikuti orang tuanya, Ipha yang balik ke kampungnya Pinrang serta Yusri yang mengabdi di ujung Timur Indonesia di tanah Papua.
Ooohh....Tuhan jarak telah memisahkan kami semua, demi sebuah cita-cita, cerita cinta dan demi kemajuan diri kami menciptakan sebuah rasa yakni “Rindu”. Rasa yang selalu menciptakan nostalgia bersama yang akhirnya tercurah hanya di media sosial melalui gadget, meski hanya di dunia maya tapi rasanya persahabatan kami tetap nyata. Namun tidak dengan sahabatku yang satu ini Dian, semenjak kepulangannya ke Ambon dia tak pernah lagi memberi kabar, tak pernah lagi ada postingan di media sosialnya, tak pernah lagi terdengar canda dan tawanya. Rasanya telah banyak cerita yang kulalui dari kisahku mengabdi di Rumah Sakit, cerita cintaku yang penuh suka dan duka, kepindahanku dari Sulawesi Selatan ke Sulawesi Barat demi mencari ceceran rezeki kehidupan di kampung orang, semua itu kubungkus dan kusimpan ingin ku beritahukan padamu. Namun hingga saat ini tak kutemukan kabar darimu, sahabatku dimana senyum dan candaanmu, lelucon dan tingkah konyolmu menawarkan sejuta tumpukan kerinduan.
Ku kirimkan pesan di akun facebookmu sama sekali tak ada respon darimu. Masihkah Ose mengingat sahabat-sahabatmu ini, orang-orang dekatmu, teman seperjuanganmu. Sesekali termenung dan terlintas di pikiranku kenangan-kenangan tempo yang pernah kita lalui bersama dari mengkombinasikan masakan Ambon dengan masakan Bugis di dapur sampai nantinya kita semua menyantapnya bersama hingga segala tingkah konyolmu yang menciptakan tawa. Sungguh aku rindu akan hal-hal itu sahabatku, dimana dirimu sebenanrnya, adakah kau bersembunyi di balik masalah, atau ditenggelamkan oleh arus kehidupan yang menghapus kenangan kita. Sepertinya kerinduan memuncak untukmu dari dalam diriku dan rasanya begitu menusuk, bukan hanya diriku tapi sahabatmu yang lain juga merindukanmu.
Setahun tanpa kabar darimu, aku mencoba menapaki Kota Parepare dengan tujuan untuk mencari tahu keberadaanmu. Namun pencarianku tak berbuah manis, Tak kutemui siapa-siapa, tak kudapati keluargamu ditempat biasa dimana kita duduk dan berbincang, bercanda tawa bersama dan makan bersama. Mess yang dulunya ramai akan keluargamu yang juga dari Ambon sekarang sepi bahkan terlihat tak berpenghuni, hatiku dipenuhi tanda tanya, pintu mess yang dulunya selalu terbuka lebar dan terparkir beberapa motor orang-orang bekerja sekarang sudah tidak lagi. Satu persatu pertanyaan berdatangan didalam diriku, namun apalah dayaku pertanyaan sekedar pertanyaan saja tak ku jumpai jawaban pasti dari rasa penasaranku. Canggihnya tekhnologi ternyata tidak mampu menjadi media untuk menemukanmu. Aku pun menyerah dan kembali ke Sulawesi Barat.
Bulan-bulan berikutnya rasanya rinduku semakin menggebu, aku memutuskan untuk menghampiri Kota Parepare lagi dengan harapan bisa mendapatkan informasi tentangmu, dan akhirnya aku bertemu dengan salah satu orang terdekatmu Ruhul, darinya satu persatu pertanyaanku tentangmu kulayangkan, senyum paksa tak seperti biasanya terpancar dari wajahnya rupanya engkau “Dian sahabatku” telah menikah sejak beberapa bulan ketika tibanya di Ambon dan telah dikaruniai seorang bayi laki-laki, Alhamdulillah bahagia bercampur haru dariku malam itu, meskipun tak bertatap muka tak ada komunikasi darimu, tapi kabar bahagia tentangmu setidaknya membuatku lega dan rasa penasaranku terjawab sudah.
Malam hening dengan bisikan gemuruh angin di tepi kota Polewali Sulawesi Barat membawaku dalam lamunan malam itu, entah kenapa ingatanku terbawa kepada sosok sahabatku yang begitu konyol dan tanpa aku sadari sesekali aku tersenyum sendiri mengingat segala tingkah lakunya pada jaman kuliah dulu, sangat jauh berbeda dengan suasana kerja yang kesehariannya hanya fokus di depan monitor yang membawa otak pening dengan laporan-laporan kantor. Masih dengan angan-angan memikirkan kebersamaan kita dibangku kuliah tanpa kusadari handphoneku berdering, ku tatap nomor telepon yang masuk rupanya dari Ipha. “oh....Tuhan, rindu akan kebersamaan ternyata dirasakan juga olehnya Ipha”, ku angkat dan ku jawab dengan penuh rasa bahagia, tapi justru suara sendu yang terdengar, seperti ada seuatu yang sangat menyedihkan yang akan ia sampaikan padaku.
“Assalamu alaikum, Ucapnya”,
“Walaikum salam”. Kenapa beb, rindu yah? (jawabku dengan senang namun penuh dengan rasa penasaran)
“Beb, jangan sedih teleponku kali ini bukan untuk mengajakmu bercerita dan bercanda”, (jawab Ipha dengan suara terisak-isak)
“Ada apa beb ?? (Jawabku dengan segala pikiran yang tidak baik)
“Dian beb, Dian kacong sahabat kita”. (Dengan Isak Tangis yang begitu jelas)
“Dian kenapa ipha, kenapa?” (Tanyaku yang semakin penasaran)
“Dian telah berpulang menghadap-Nya, ia meninggal beberapa menit yang lalu dan informasi ini ku dapat dari Ruhul di Ambon”. (Tangisnya makin menjadi-jadi).
Tangisku meluap, Innalillahi wainna Ilaihirojiun, begitu cepat engkau pergi meninggalkan kami sahabatku, rinduku kau balas dengan kabar duka. Betahun-tahun tanpa kabarmu, bertahun-tahun merindukanmu, bertahun-tahun mengenang kebersamaan kita, rasanya begitu sakit dan tak terima dengan kenyataan bahwa harus kehilangan dirimu untuk selamanya. Sungguh rasanya sangat berat harus menerima kenyataan itu.
Selamat jalan sahabatku, damailah dialamNya, semoga tenang di surga sana. Terima kasih untuk hadiah terakhir yang kau berikan melalui rangkaian kenangan yang telah kau hadirkan dalam kehidupanku. Aku, Yusri, Ipha, Misli, Tika dan Upi akan selalu mengingat semua tentang kita. Lembaran-lembaran kisah persahabatan yang tidak akan pernah berujung ini akan terus tersimpan dalam hidupku.

“Guys, kisah yang dituliskan oleh sahabatku ini membuatku mengenang kembali sahabatku yang bahkan seperti keluargaku. Sungguh sedih rasanya, jika di akhirat sana dia bisa melihat kami, kan ku ucapkan rasa terima kasih atas  potongan cerita yang dia ukir, atas hangat persahabatan yang dia beri. dan atas Mahabbah Fillah ku lantunkan doa dan harapan semoga sahabat-sahabatku yang sekarang dipisahkan oleh Jarak dan Waktu semoga selalu dalam lindungan Allah Azza Wajalla. Jadilah sahabat yang tulus seperti jalinan persahabatan para Nabi.
“Sahabatku, satu hal yang pasti sejauh apapun kalian semua pergi, kalian tetap harta terbaik yang selalu dihati dan tetap kunanti hingga pulang kembali”. Miss U Forever

3 komentar:

  1. sedih sekali yah ������
    yg sabar untuk sahabatyg ditinggalkan

    BalasHapus
  2. Hanya ini hadiah terakhirku beb kacong
    Alfatihah
    Thanks jenk yuss sudah menerbitkan coretanku

    BalasHapus
  3. Semoga Amal ibadahnya diterima Amin. Dan d berikan kesabaran semua sahat2 yg ditinggalkan. AMIN. Al-fatimah.

    BalasHapus