Translate

26 Apr 2017

Dari Ufuk Timur Ku Pandang Kampung Derita “Fakafuku”


Papua, aku selalu bangga ketika menuliskanmu. Meski aku tak lahir ditanahmu, tapi rasa bangga pernah memijakkan kaki ditanahmu sungguh tak kan pernah terhapus dalam setiap langkah yang ada saat ini.
Ada begitu banyak hal menyenangkan terukir disana hingga kisah pilu yang terinspirasi dari Ufuk timur Kampung Fakafuku. Kampung yang berada di Distrik Agimuga Kabupaten Mimika, Kampung ini di tempuh sekitar 7 jam dari kota Timika menggunakan perahu susun.

Saya dan tim Komisi Penanggulangan AIDS (Ibu Hasmawati, Ibu Sonya Ariem, Pak Jeckson Rengirit, Pak Valantino, Pak Amiruddin dan Pak Richard) kala itu melakukan mobile testing HIV AIDS di kampung itu. Sungguh kesan pertama yang nampak seperti kampung yang terlupakan, kampung gubuk derita. Masyarakat terlihat seperti membutuhkan pelukan juga tatapan mata penuh harap, mereka terlihat kurus dan kelaparan. Disini mereka makan sampai dua hari sekali, dan hanya memakan pisang yang direbus bahkan hanya memakan kelapa saja. Mie instan yang kami berikan tak pandai mereka olah menjadi makanan. Sungguh penampakan yang sangat memprihatinkan.

Ini tidak lain karena mereka masih belum bisa menerima hal-hal baru, masih memiliki budaya malas, masih tergantung kepada kekuatan orang lain. Masyarakat disana tertidur dari kepandaian mengolah alam dan kekayaannya. Uang menjadi perusak moralitas masyarakat Fakafuku, hingga fasilitas kesehatan dan pendidikan yang diberikan pemerintah perlahan di tanggalkan oleh mereka.
Namun, Paman Lukas salah satu tokoh masyarakat disana membuktikan bahwa masyarakat Fakafuku bisa berubah, jangan pernah abaikan mereka, meski mereka menolak tetaplah rangkul mereka hingga mereka membuka pikiran, hingga mereka mengulurkan tangan, hingga anak-anak Fakafuku bisa mengenyam pendidikan yang layak, hingga mereka memiliki tubuh yang sehat, hingga mereka mengucap gandenglah tangan kami untuk menggapai impian.

Jauhnya Kampung Fakafuku membuat kita warga kota besar kesulitan mengenalnya dengan baik. Memandangnya dari kejauhan hanya akan memperpanjang jarak, menjauhkan rasa solidaritas kita terhadap masyarakat sana.

Paman Lukas membuktikan dengan sambutan dan kasih sayangnya untuk kami merupakan sebuah cara menyampaikan pesan yang menyentuh tanpa adanya kesan paksaan. Untuk Paman Lukas meski aku tak mengenalmu lebih banyak, meski aku hanya mendengar kisahmu dari Ibu Hasmawati, meski bukan aku tempatmu meminta dibuatkan gambar rupamu, agar semua masyarakat Fakafuku bisa melihat tampangmu di Baliho, tapi aku ingin kau bisa dilihat oleh semua masyarakat melalui blog ini.  


#Salam dari langit Sulawesi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar