Papua, aku
selalu bangga ketika menuliskanmu. Meski aku tak lahir ditanahmu, tapi rasa bangga
pernah memijakkan kaki ditanahmu sungguh tak kan pernah terhapus dalam setiap
langkah yang ada saat ini.
Ada begitu
banyak hal menyenangkan terukir disana hingga kisah pilu yang terinspirasi dari
Ufuk timur Kampung Fakafuku. Kampung yang berada di Distrik Agimuga Kabupaten
Mimika, Kampung ini di tempuh sekitar 7 jam dari kota Timika menggunakan perahu
susun.
Saya dan
tim Komisi Penanggulangan AIDS (Ibu Hasmawati, Ibu Sonya Ariem, Pak Jeckson Rengirit,
Pak Valantino, Pak Amiruddin dan Pak Richard) kala itu melakukan mobile testing
HIV AIDS di kampung itu. Sungguh kesan pertama yang nampak seperti kampung yang
terlupakan, kampung gubuk derita. Masyarakat terlihat seperti membutuhkan
pelukan juga tatapan mata penuh harap, mereka terlihat kurus dan kelaparan. Disini
mereka makan sampai dua hari sekali, dan hanya memakan pisang yang direbus bahkan
hanya memakan kelapa saja. Mie instan yang kami berikan tak pandai mereka olah
menjadi makanan. Sungguh penampakan yang sangat memprihatinkan.
Ini tidak
lain karena mereka masih belum bisa menerima hal-hal baru, masih memiliki
budaya malas, masih tergantung kepada kekuatan orang lain. Masyarakat disana
tertidur dari kepandaian mengolah alam dan kekayaannya. Uang menjadi perusak
moralitas masyarakat Fakafuku, hingga fasilitas kesehatan dan pendidikan yang
diberikan pemerintah perlahan di tanggalkan oleh mereka.
Namun,
Paman Lukas salah satu tokoh masyarakat disana membuktikan bahwa masyarakat Fakafuku
bisa berubah, jangan pernah abaikan mereka, meski mereka menolak tetaplah
rangkul mereka hingga mereka membuka pikiran, hingga mereka mengulurkan tangan,
hingga anak-anak Fakafuku bisa mengenyam pendidikan yang layak, hingga mereka
memiliki tubuh yang sehat, hingga mereka mengucap gandenglah tangan kami untuk
menggapai impian.
Jauhnya Kampung
Fakafuku membuat kita warga kota besar kesulitan mengenalnya dengan baik. Memandangnya
dari kejauhan hanya akan memperpanjang jarak, menjauhkan rasa solidaritas kita
terhadap masyarakat sana.
Paman Lukas
membuktikan dengan sambutan dan kasih sayangnya untuk kami merupakan sebuah
cara menyampaikan pesan yang menyentuh tanpa adanya kesan paksaan. Untuk Paman
Lukas meski aku tak mengenalmu lebih banyak, meski aku hanya mendengar kisahmu
dari Ibu Hasmawati, meski bukan aku tempatmu meminta dibuatkan gambar rupamu,
agar semua masyarakat Fakafuku bisa melihat tampangmu di Baliho, tapi aku ingin
kau bisa dilihat oleh semua masyarakat melalui blog ini.
#Salam dari
langit Sulawesi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar