Hai Sahabat, Maaf baru posting
lagi. Soalnya baru dapat Wifi gratis untuk posting Hihihi......(Nasib Wilayah
Indonesia Bagian Timur yang paketan super mahal). Nah hari ini aku mau posting pengalamanku
pekan lalu yang bisa jadi pembelajaran untuk kita, siapa tahu dari cerita ini
mampu menggerakkan hati pembaca untuk sebuah tindakan hebat kedepannya.
Sore
itu di depan Cafe Barley, aku ingin mengambil motor yang sudah 3 jam terparkir
usai bertemu dengan teman-teman di cafe tersebut. Aku kemudian bertemu dengan bocah
Papua yang pasang gaya sambil bersandar di motorku, layaknya pak Satpam yang
menjaga pos. Entahlah namanya siapa, yang jelas dia menutupi motorku dengan
kardus, agar kelak aku tidak kepanasan saat mengendarai motorku dengan imbalan
bayaran (Meskipun cafe itu sebenarnya free parkir dan tidak terpapar panas
Matahari). Tapi sudahlah, aku hanya mencoba mengajaknya ngobrol.
Aku : Ade jam begini kau tra sekolah kah??
Bocah : arghh, tidak kaka
Aku : Kenapa ade? (penasaran ?!#)
Bocah : Tra mau, saya mau kerja saja dapat uang buat
balanja sama buat mama.
Aku : Ohh begitu, Terus kau tinggal dimana ade?
Bocah : Di Jalan Hasanuddin kaka. (Tempanya cukup
jauh dari cafe tersebut)
Aku : Wiss, jauh sekali ade, trus kau naik apa
kesini?
Bocah : Naik ojek kaka, tapi biasa jalan kaki juga.
Aku : Kau pu uang habis di ojek su itu. Ade,
tra papa kerja bantu mama, justru bagus ade. Tapi ade tra mau to jadi tukang
parkir terus disini. Makanya ade harus sekolah to.
Bocah : (tersenyum)
Aku : (melihat anak itu sudah gelisa menunggu
bayaran)
Kaka kasih uang sudah, tapi janji ee nanti kau sekolah. Biar nanti ade
jadi orang hebat yang juga bisa jaga Papua. Karena tra ada yang jaga Papua kalo
ade tra sekolah.
Bocah : (masih tersenyum malu)
Aku
lalu pergi meninggalkannya sambil tersenyum padanya. Tak beberapa lama setelah
itu, dari radius 20 meter dia berteriak.
Bocah : Terima kasih kaka, nanti saya mau
sekolah
Aku
merasa lega mendengarnya. Terima kasih tanah Papua, maaf karena hanya motivasi
yang dapat kuberikan untuk putra putrimu .
Keadaan di atas merupakan potret
kurangnya kesadaran akan pentingnya pendidikan bagi anak Papua khususnya
Kabupaten Mimika, banyak orang tua yang masih saja merasa pendidikan tidaklah
perlu untuk anaknya, pandai membaca dan menulis itu sudah cukup, sekolahpun tak
mendapatkan apa-apa, justru anak itu tugasnya membantu orang tua bekerja dan
menghasilkan uang.
Teringat film inspiratif Denias
(Janias Miagoni), Senandung di Atas Awan yang merupakan anak suku pedalaman
Papua (Arwanop) yang berjuang mengejar impian untuk meraih pendidikan tinggi,
yang sempat tidak diberi izin untuk mengejar impiannya oleh bapaknya.
Padahal banyak sekali sekolah negeri
hingga perguruan tinggipun disediakan beasiswa bagi orang Papua yang ingin
bersekolah, sebut saja PT Freeport Sumbangan yang diberikan untuk masyarakat
Papua, terutama warga yang ada di sekitar area pertambangan perusahaan itu di
Kabupaten Mimika luar biasa. salah satunya sekolah yang mendidik anak-anak asli
Suku Amungme dan Kamoro dari berbagai daerah di pedalaman itu dibangun oleh Lembaga
Pengembangan Masyarakat Amungme dan Kamoro (LPMAK), sebuah lembaga nirlaba yang
mengelola dana kemitraan dari PT Freeport.
Ada pula Institut Pertambangan Nemangkawi (Sebuah sekolah tinggi untuk
mempersiapkan tenaga-tenaga kerja asal Papua yang terampil untuk bekerja di
area perusahaan).
Ketersediaan sarana tersebut sangat
disayangkan jika tidak menarik anak-anak Timika untuk bersekolah dan
menumbuhkan kesadaran para orang tua untuk menyekolahkan anaknya. Lalu mengapa
kesadaran itu sanga minim? Melihat update pendidikan diluar sana yang sudah
semakin baik, mengapa anak-anak Papua tidak merasa tertinggal ?
Pertama,
minimnya tenaga pendidik, kurangnya guru sekolah dasar di daerah-daerah
pedalaman terpencil yang mengakibatkan proses pembelajaran tidak dapat
berlangsung dengan baik, sehingga banyak anak yang putus sekolah dan putus
semangat bersekolah.
Kedua,
fasilitas bagi tenaga pendidik yang masih minim sehingga banyak guru yang
meninggalkan tempat tugas dengan alasan tidak ada tempat tinggal yang layak
untuk dihuni.
Ketiga,
pemerataan kualitas pendidikan yang mengakibatkan masih ada kesenjangan antara
satu pulau dengan pulau lainnya.
Keempat,
kurangnya motivasi. Tidak sedikit anak kehilangan motivasi, di sekolah dimarahi
guru, dirumah pun dimarahi orang tua. Belum lagi perekonomian di rumah sangat
memprihatinkan, prestasi anak yang juga menyedihkan. Ujung-ujungnya orang tua
lebih memilih anaknya bekerja. Ironi memang, di usia anak yang harusnya
bergembira dengan bersekolah, justru dibebankan untuk membantu ekonomi
keluarga.
Kelima,
khususnya di daerah perkotaan, pergaulan atau gaya hidup remaja yang mengadopsi
budaya luar, belum menikah sudah hidup serumah, sudah berani pacaran melewati
batas, karena tuntutan ikut trend melakukan apa saja untuk memperoleh uang.
Pada dasarnya anak-anak Timur itu
pandai dan cepat tangkap hanya saja mereka kurang motivasi untuk menjadi orang
yang lebih baik dari segi pendidikan dan ekonomi. Untuk itu mari bersama-sama
berupaya menjadi motivator untuk adik-adik kita, untuk kawan-kawan kita untuk
memajukan pendidikan anak Timika. Maju Terus Laskar Cendrawasih generasi
penerus bangsa. Walau masih banyak yang belum mengenyam dunia pendidikan secara
merata dan lebih tinggi lagi. Namun dari Wilayah Indonesia Bagian Timur
tercinta ini, akan selalu ada generasi emas yang berkibar membanggakan bangsa
seperti mereka Putra Putri Papua :
Janias
Miagoni (Tokoh asli film Danias Senandung di Atas Awan),
Septinus
George Saa (Winner Lomba First Step to Nobel Prize in Physics),
Mozes
Kilangin (Pahlawan Papua, Namanya diabadikan sebagai bandara Internasional
Mozes Kilangin di Timika)
Boaz
Solossa dan Oktovianus Maniani (Pesepak Bola)
Nowela
Auparay (Pemenang Indonesian Idol)
Freddy
Numberi (Bapak Menteri)
Edo
Kondologit (Penyanyi)
Dan
banyak lagi,
Trus
Ko juga to, mau kaya mereka? Ayo sudah kitong sama-sama pergi balajar biar
bikin bangga papa deng mama dan tanah air kitong ale.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar