Siapa lagi peramu insan cendikia,
jika bukan dia guru kita, sang pahlawan tanpa tanda jasa, sang pencetak
generasi muda yang berpendidikan. Kalau dalam dunia film guru kita berperan
sebagai aktor/aktris protagonis namun ia bermain dalam dunia pendidikan.
Hari ini merupakan hari penghargaan
insan guru, yang pasti berbagai ucapan yang menyentuh kalbu banyak
berkumandang, entah itu berupa puisi, lagu, cindera mata bahkan berupa poster.
Lirik lagu yang tertuang dalam
karya bapak Sartono, sang pengarang lagu Hymne guru, dimana liriknya membuat
setiap hati orang yang mendengarkannya bergejolak luar biasa menyentuh
sanubari. “Engkau adalah pelita dalam kegelapan, sebagai embun penyejuk dalam
kehausan, engkau patriot pahlawan bangsa tanpa tanda jasa. Sebagai rasa terima
kasih atas jasa-jasa guru yang mampu mewujudkan cita-cita kemerdekaan untuk
mencerdaskan segenap bangsa Indonesia.
Esensi dari tanda jasa merupakan
salah satu cara menyejahterakan tenaga pendidik. Namun demikian profesionalitas
kerja tetap diutamakan. Dengan adanya nominal fee diharapkan mampun menjaga
semangat dan profesionalitasnya demi keberlangsungan generasi muda yang kompetitif.
Terlebih saat ini Indonesia sudah memasuki era Masyarakat Ekonomi Asean. Sangat
mungkin persaingan di dunia kerja semakin tinggi dan lapangan kerja semakin
sempit.
Guru merupakan Estafet dari
Pemerintah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yang tertuang pada pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945. Namun estafet tersebut tidak serta merta membuat guru dimudahkan. Lihat
saja keadaan guru yang ada di Papua dalam film “Denias, Senandung di Atas Awan”
dan “di Timur Matahari”.
Di Indonesia saat ini, guru yang
memiliki semangat perjuangan yang tinggi, seringkali mala menerima “gaji” yang
tidak sebanding dengan usahanya. Sebut saja guru yang berada di daerah pedalaman
Papua di distrik paling barat di Kabupaten Mimika, yang tidak kenal lelah
melawan tingginya ombak laut, berjalan berpuluh-puluh kilometer menuju sekolah,
panas terik matahari yang bagai kawan yang selalu menemani, dengan kesabaran
menghadapi karakter anak didik yang bermacam-macam namun tak pernah sedikit pun
mengeluh meski kesejahteraannya bahkan dia abaikan. 6 bulan mengajar tak
mendapat insentif namun ia tetap semangat mendidik anak pelosok agar mampu
menembus kerasnya kehidupan di pedalaman dan mampu meraih cita-cita menembus
langit.
Di balik keterbatasan infrastruktur,
akses menuju lokasi yang sulit, sinyal yang tak terjaba, sumber air yang
katanya sudah dekat namun jauh dari harapan dan hanya berharap dari berkah
hujan dari tuhan, Ia guru-guru harapan bangsa dituntut untuk kreatif serta
inovatif dalam mengajar, menggunakan alat seadanya demi menyalurkan ilmu kepada
anak-anak Papua.
Guru di daerah pedalaman memiliki
semangat yang jauh lebih besar, yang mengajar tidak pandang waktu dan selalu
memiliki waktu untuk membantu muridnya setiap saat tenaganya dibutuhkan, Keikhlasannya
cerminan pahlawan tanpa tanda jasa.
“Selamat hari guru nasional kepada
semua guru yang berjuang mencerdaskan anak bangsa di nusantara, jasa kalian
akan selalu dikenang hingga sanubari, tetaplah menjadi pelita dalam kegelapan
anak bangsa, karena segala jasamu dalam mendidik, tidak akan terlupakan dan
akan selalu terkenang di Bumi Pertiwi”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar