Translate

24 Nov 2016

Peramu Insan Cendikia




Siapa lagi peramu insan cendikia, jika bukan dia guru kita, sang pahlawan tanpa tanda jasa, sang pencetak generasi muda yang berpendidikan. Kalau dalam dunia film guru kita berperan sebagai aktor/aktris protagonis namun ia bermain dalam dunia pendidikan.

Hari ini merupakan hari penghargaan insan guru, yang pasti berbagai ucapan yang menyentuh kalbu banyak berkumandang, entah itu berupa puisi, lagu, cindera mata bahkan berupa poster.

Lirik lagu yang tertuang dalam karya bapak Sartono, sang pengarang lagu Hymne guru, dimana liriknya membuat setiap hati orang yang mendengarkannya bergejolak luar biasa menyentuh sanubari. “Engkau adalah pelita dalam kegelapan, sebagai embun penyejuk dalam kehausan, engkau patriot pahlawan bangsa tanpa tanda jasa. Sebagai rasa terima kasih atas jasa-jasa guru yang mampu mewujudkan cita-cita kemerdekaan untuk mencerdaskan segenap bangsa Indonesia.



Esensi dari tanda jasa merupakan salah satu cara menyejahterakan tenaga pendidik. Namun demikian profesionalitas kerja tetap diutamakan. Dengan adanya nominal fee diharapkan mampun menjaga semangat dan profesionalitasnya demi keberlangsungan generasi muda yang kompetitif. Terlebih saat ini Indonesia sudah memasuki era Masyarakat Ekonomi Asean. Sangat mungkin persaingan di dunia kerja semakin tinggi dan lapangan kerja semakin sempit.

Guru merupakan Estafet dari Pemerintah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yang tertuang pada pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Namun estafet tersebut tidak serta merta membuat guru dimudahkan. Lihat saja keadaan guru yang ada di Papua dalam film “Denias, Senandung di Atas Awan” dan “di Timur Matahari”.

Di Indonesia saat ini, guru yang memiliki semangat perjuangan yang tinggi, seringkali mala menerima “gaji” yang tidak sebanding dengan usahanya. Sebut saja guru yang berada di daerah pedalaman Papua di distrik paling barat di Kabupaten Mimika, yang tidak kenal lelah melawan tingginya ombak laut, berjalan berpuluh-puluh kilometer menuju sekolah, panas terik matahari yang bagai kawan yang selalu menemani, dengan kesabaran menghadapi karakter anak didik yang bermacam-macam namun tak pernah sedikit pun mengeluh meski kesejahteraannya bahkan dia abaikan. 6 bulan mengajar tak mendapat insentif namun ia tetap semangat mendidik anak pelosok agar mampu menembus kerasnya kehidupan di pedalaman dan mampu meraih cita-cita menembus langit.


Di balik keterbatasan infrastruktur, akses menuju lokasi yang sulit, sinyal yang tak terjaba, sumber air yang katanya sudah dekat namun jauh dari harapan dan hanya berharap dari berkah hujan dari tuhan, Ia guru-guru harapan bangsa dituntut untuk kreatif serta inovatif dalam mengajar, menggunakan alat seadanya demi menyalurkan ilmu kepada anak-anak Papua.

Guru di daerah pedalaman memiliki semangat yang jauh lebih besar, yang mengajar tidak pandang waktu dan selalu memiliki waktu untuk membantu muridnya setiap saat tenaganya dibutuhkan, Keikhlasannya cerminan pahlawan tanpa tanda jasa.

“Selamat hari guru nasional kepada semua guru yang berjuang mencerdaskan anak bangsa di nusantara, jasa kalian akan selalu dikenang hingga sanubari, tetaplah menjadi pelita dalam kegelapan anak bangsa, karena segala jasamu dalam mendidik, tidak akan terlupakan dan akan selalu terkenang di Bumi Pertiwi”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar